Friday, October 30, 2015

Proyek No.35 : Dakdoritang, Ayam Kuah Pedas Korea



Hiyaa, ini nih satu lagi korban akibat nonton channel Korea. Gara-gara liat acara The Nation's Big Three di One channel beberapa hari yang lalu, Si Teteh jadi ngiler pengen juga bikin masakan Korea yang sama. Entah namanya apa, tapi yang jelas sejenis ayam berkuah merah pedas, dengan potongan kentang dan sliweran bawang bombai serta daun bawang di dalamnya. "Bikin, Mi! Hadeeh," pintanya sambil nelen air liur. Matanya terus saja melototin tv, melihat ayam berkuah merah itu tengah bergolak-golak di atas api dan sekali-kali dikomentari host-nya. Kuah merahnya itu lho, bikin ngeces asli! Kayaknya enak banget, apalagi saat host-nya mencicipi satu demi satu masakan kontestan. Melihatnya menyantap ayam pedas panas-panas, apalagi saat digigit dagingnya, itu lunaak banget sampe terlepas dari tulangnya. Sampai-sampai host-nya keringetan saking pedas dan panasnya. Wuidih, ngilernyaa...

Maka, ketika tukang sayur komplek menawarkan ayam yang tinggal 1 ekor lagi, saya pun langsung membelinya. Oke Teh, ayo kita bikin ayam kuah pedas a la Korea yang tempo hari bikin kita 'menderita' itu! Namanya apa? Bumbu masaknya apa aja?Entahlah. Let's find out di Mbah Google, hehe.

Ternyata, namanya Dakdoritang atau Dakbokkeumtang, sodara-sodara. Jadi Dakdoritang ini olahan ayam yang direbus bersama kentang, wortel, bawang bombai dan bawang daun dengan dibumbui pasta cabai Gochujang, cabai bubuk, kecap asin dan bawang putih. Karena dimasak agak lama sekitar 30 menit dengan api yang tidak terlalu besar, maka hasilnya si ayam ini jadi lembut, sekali gigit langsung 'mlocot' dari tulangnya, hehe. Rasanya jelas pedas karena memakai pasta Gochujang dan cabai bubuk sekaligus. Untuk membuktikan sepedas dan seenak apa rasanya, saya pun langsung praktek dengan berpatokan pada resep sederhana Maangchi. Ga sama persis, takarannya saya modif sendiri.

Saya masih punya pasta Gochujang, tapi kali ini mau coba pakai tiruannya saja yaitu sambel Dua Belibis ditambah kecap asin Indofood dan cabai bubuk. Pengen nyobain aja seperti apa rasanya kalo nggak pakai Gochujang. Caranya, 4 sendok sambel Dua Belibis, 1 sendok cabai bubuk dan 1 sendok kecap asin Indofood saya aduk rata. Setelah itu saya siapkan bumbu lain yaitu bawang putih cincang halus, kecap asin, cabai bubuk dan gula pasir. Aduk semua bumbu tadi dalam panci lalu masukan ayam yang sudah dipotong-potong. Kalo bisa sih ayamnya dipotong lebih kecil dari biasanya, supaya gampang makannya dan bumbu lebih cepat meresap. Aduk ayam hingga tercampur rata dengan bumbu lalu beri potongan bawang bombai, jahe geprek dan segelas air. Masak deh hingga dagingnya empuk kurang lebih 20 menit. Setelah daging empuk, tambahkan potongan kentang dan segelas air lagi lalu masak lagi sekitar 15 menit. Terakhir masukan wijen dan potongan bawang daun, aduk hingga layu. Selesa deh.

Ada satu bumbu yang saya bingung kenapa nggak disertakan  di setiap resep Dakdoritang yang saya baca. Garam. Saya nengok beberapa resep Dakdoritang kok nggak pake garam ya? Oke saya pun ngikut nggak pake garam, awalnya. Tapi setelah ayamnya mulai empuk dan kuahnya menggugah selera, icip-iciplah saya. Slurp, ehh...bentar. Slurp...ehh...manis ya? Pedes sih, tapi manis. Ekspektasi saya rasanya memang bakal manis, pedas tapi ada gurihnya juga (emang dasarnya lidah saya cenderung ke asin dan gurih sih, hehe). Jadi karena saya lebih suka agak gurih, maka saya tambahkan garam sepasnya aja. Hasilnya menurut saya sih lebih enak meskipun tetap dominan manisnya. Oh ya, diakhir acara masak, saya tergoda untuk menambahkan pasta Gochujang ke dalam panci. Penasaran seperti apa rasanya kalo pakai Gochujang beneran. Dan ternyata aroma fermentasinya lah yang menonjol. Hmm kayak ada rasa Tauco nyempil diantara pedas dan kentalnya kuah Dakdoritang.

Unik sih dan tentu saja enak. Cocoknya disantap saat masih panas dan menurut saya sih enaknya dimakan nggak pake nasi alias digadoin, hehe. Dan kuahnya yang kental itu emang bener, nikmat banget kalo ditambahin mie rebus. Jadi Ramyun gitu. Penasaran? Ayo bikin, gampang kok!











Resep Dakdoritang

Bahan : 
  • 1 ekor ayam, potong-potong kecil atau sesuai selera
  • 2 bh kentang ukuran besar, potong kotak
  • 1-2 bh bawang bombai, potong kotak
  • 4 bh bawang putih, cincang halus
  • 1 bh bawang daun, potong-potong
  • 2 sdm pasta Gochujang (Bisa diganti dengan 4 sdm sambal Dua Belibis+1 sdm kecap asin Indofood+1 sdm cabai bubuk. Jika ingin aroma fermentasinya kuat, bisa tambahkan 2 sdm Tauco)
  • 2 sdm kecap asin
  • 2 sdm cabai bubuk
  • 2 sdm gula pasir
  • 1/2 sdm garam atau sesuai selera (aslinya nggak pake)
  • 2 cm jahe geprek
  • 2 gelas air

Cara membuat :
  1. Campurkan jadi satu Gochujang, bubuk cabai, kecap asin, gula pasir dan bawang putih cincang dalam panci. Aduk rata.
  2. Masukan potongan ayam yang telah dicuci. Aduk hingga tercampur dengan bumbu. Tambahkan bawang bombai, jahe dan segelas air. Aduk. Tutup panci, masak dengan api sedang selama 20 menit.
  3. Masukan kentang dan garam. Tambahkan segelas air lagi jika kuah menyusut. Aduk. Tutup panci, masak 15 menit.
  4. Cek rasa. Jika sudah pas, tambahkan wijen dan daun bawang. Aduk dan masak sekitar 3 menit. Matikan api.
  5. Sajikan panas















Sunday, October 25, 2015

Pityriasis Rosea, Pity You, Ria!



Sebelumnya maaf ya kalo foto di atas terlihat cukup horor dan menjijikkan. Bukan, itu bukan Panu tapi namanya Pityriasis Rosea. Apa sih Pityriasis Rosea? Nah itu dia, biar pada ngeh sama penyakit kulit yang satu ini maka mau saya sharing. Apa, penyakit kulit? Hiii, ngapain dibahas di sini? Kenapa pula mesti disharing? Mungkin pada bingung dan ilfil ya liat tulisan saya kali ini. Well, buat yang nggak tertarik dengan tulisan saya kali ini, boleh skip kok, tapi percayalah, isinya bermanfaat. Apalagi buat mereka yang tengah kebingungan, seperti halnya saya dulu saat terkena penyakit ini. 

Jadi awalnya saya heran saat ngeliat pergelangan tangan saya tiba-tiba berbintik-bintik merah. Bentuknya kecil-kecil, mirip bekas digigit nyamuk. Oke, saya digigitin sekawanan nyamuk, begitu pikir saya. Karena memang terasa gatal, sesekali. Tapiii, ternyata saat mandi, saya baru ngeh ternyata si bintik-bintik ini sudah lebih dulu muncul di bagian lain yaitu di punggung, perut dan paha. Terbukti karena bentuk bintiknya lebih lebar dibanding dengan yang di pergelangan tangan dan warna berubah jadi pink. Jumlahnya nggak banyak, hanya beberapa spot saja, tapi lumayan bikin saya panik. Malah saya nemu yang lebih besar lagi bentuknya, ya seperti foto di atas tadi. Ya ampun, saya kena penyakit Panu yang massive!

Hah? Kok jorok sih kena Panu! Aduuh, saya kan rajin mandi dan jaga kebersihan badan. Alhasil saya pun diam-diam mengoleskan salep anti jamur ke spot-spot pink di sekujur tubuh, takut makin melebar. Saya pun mulai memisahkan pakaian kotor saya dengan pakaian lain saat mencuci baju. Mandi pun jadi  memilih pakai sabun khusus kesehatan dan nggak berani jemur handuk dekat handuk lain.Takut penyakit kulit saya menular ke anak-anak dan suami. 

Saya pun mulai Googling di internet, ini penyakit kulit jenis apa. Masalahnya kok bentuknya berubah,  yang awalnya bintik kecil kemudian berubah jadi kayak cacar lalu berakhir jadi bersisik kayak Panu. Diberi obat anti jamur pun kok kayaknya nggak ada perubahan apa-apa. Mandi pake sabun kesehatan yang mengandung apalah gitu, kok tetep aja bintiknya malah makin banyak. Ini kenapa??? Saya belum berani ke dokter. Saya akan cari tahu sendiri, siapa tahu bisa diobati tanpa pake resep dokter. Maka satu per satu penyakit kulit saya cari tahu di internet. Harus kuat lihat foto-foto yang lumayan 'mengerikan' terpampang di layar monitor laptop, demi menyelidiki jenis penyakit kulit yang saya derita. Dan akhirnya saya menemukan satu jenis penyakit kulit yang bentuknya mirip dengan yang  saya alami yaitu Pityriasis Rosea. Sekilas saya baca, namun intinya penyakit ini adalah penyakit kulit yang tidak menular dan bisa sembuh sendiri. Penyebabnya virus yang belum diketahui dan bisa menyerang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Oke, mungkin jenis yang menyerang saya ini Pityriasis Rosea, tidak menular dan sembuh sendiri. Aman, pikir saya saat itu. Kayaknya sih iya terkena Pityriasis Rosea, jadi nggak usah ke dokter kan? Saya keukeuh nggak mau ke dokter saat itu.

Tapiii...setelah hampir 3 minggu nggak ada perubahan dan salep anti jamur udah habis 1 tube, dan suami serta anak-anak mulai ngeh badan saya dipenuhi dengan bintik-bintik mengerikan, dan saya mulai kegatelan serta obat Caladine mulai habis, akhirnya saya pun menyerah dan pergi juga ke dokter kulit. Baiklah saya ke dokter kulit, tapi saya nggak mau dokter kulit laki-laki. Harus perempuan karena yakin badan saya pasti bakal diperiksa semua. Semua spot bakal diobservasi sama si dokter kulit. Jadilah saya pergi ke Rumah Sakit Siloam yang lumayan dekat dari rumah. Saya pilih dokter kulit perempuan.

Begitu masuk ruang dokter, saya agak kaget juga. Rupanya ada dua orang calon dokter, mahasiswa kedokteran Universitas Pelita Harapan sepertinya, yang ikut hadir di situ. Satu mahasiswi dan satu mahasiswa. Waduh, bagaimana ini. Habislah saya nanti diobservasi mereka, apalagi yang satu mahasiwa. Duuh mau bagaimana lagi, sudah kadung masuk. Kondisi darurat, nggak papalah, Bismillah aja. Saya pun langsung duduk berhadapan dengan  Bu Dokter Kulit yang nampak sudah sangat senior, sementara dua orang mahasiswa magangnya duduk tak jauh dari situ memperhatikan saya.

"Kenapa, Bu?"
"Ini Dok, badan saya kok banyak bintik-bintik ya, kayak cacar tapi nggak berair..."
"Coba seperti apa?"

Saya pun menyodorkan lengan saya ke arah Bu Dokter. Bu Dokter langsung memeriksa sejenak, lalu sejurus menatap saya sambil tersenyum.

"Waduh, Ibu kecapean, ya? Ibu stress ya?

Hah? Kok nanya itu sih Bu Dokter-nya. Saya pun cengar-cengir. Gimana ya, iya sih, belakangan ini saya kembali jadi 'Tukang Ojek' anak-anak setelah vakum hampir 5 tahun. Saya mulai antar jemput sekolah anak saya, Zaki, yang jaraknya kurang lebih 13 km. Balik lagi ke rumah jadi sekitar 26 km. Habis itu lanjut nganter Si Teteh Zulfa sekolah yang jaraknya 1 km. Balik lagi ke rumah jadi 2 km. Total tiap pagi saya 'momotoran' 28 km. Belum jemputnya lagi nanti sore. Totalin sendiri deh, haha.. lumayan beratkan hidup saya? (hiks, nasib ga bisa nyetir mobil). Ya pokoknya intinya bener saya kecapean.

"Jadi nama penyakit kulit Ibu ini kedengerannya sih keren, Pityriasis Rosea. Menyerang saat kondisi atau imunitas seseorang sedang lemah. Bisa karena kecapean atau stress"

Tuh kan bener! Pityriasis Rosea kan? Hadeuuh, tau kayak gini mending nggak usah ke dokter ya, soalnya kan sembuh sendiri, hehe (dan saat bayar di kasir, ternyata biayanya lumayan mahal, untuk  dokter plus obat total hampir 500 ribu! *Glek). Akhirnya saya pun pasrah waktu Bu Dokter memeriksa tubuh saya. Seolah saya ini jadi alat peraga, ruam-ruam yang menghiasi beberapa bagian tubuh saya pun ditelisik dan diterangkan pada dokter magangnya. 

Jadi persis seperti yang saya baca di internet kemarin, Si Pity-pity ini penyebabnya adalah virus yang belum diketahui jenisnya. Penyakit kulit yang satu ini dapat sembuh sendiri (self limited) dan tidak menular. Biasanya akan sembuh dalam jangka waktu 2-8 minggu bahkan bisa berbulan-bulan tergantung kondisi seseorang. Menurut Si Bu Dokter ini, ruam-ruam kecil berwarna pink ini biasanya akan disertai dengan satu ruam yang cukup besar yang disebut induk (Herald Patch). Jadi awalnya muncul induknya dulu (seperti pada gambar di atas), setelah itu barulah bermunculan bintik-bintik kecil lainnya menyebar. Akan terasa gatal manakala tubuh kita berkeringat atau basah dan biasanya terjadi menjelang malam hari. Obat yang diberikan pun hanya berupa anti alergi, vitamin dan salep untuk mengurangi rasa gatal. Tidak ada antibiotik atau obat yang langsung bisa menghentikan penyebaran Si Pity-pity ini. 

Obat yang diberikan dokter kulit

Saya sendiri baru denger ada penyakit kulit seperti ini dan cukup melegakan karena ternyata tidak menular ke orang lain dan sembuh sendiri tanpa meninggalkan bekas. Tapi memang butuh kesabaran tinggi karena selama berminggu-minggu, saya harus bertahan dari gempuran rasa gatal dan ketidak nyamanan melihat ruam-ruam kecil menyebar dan bersisik seperti Panu. Kulit mulus pun berubah jadi burik selama berminggu-minggu, uh! Tapi Alhamdulillah, akhirnya penderitaan saya berakhir di minggu ke-9 (2 bulan 1 minggu). Perlahan-lahan, ruamnya mulai mengering dan akhirnya benar-benar hilang tak berbekas. Saran dari dokter sih, makanlah secara teratur, jaga stamina tubuh agar tidak drop dan hindari hal-hal yang bisa menyebabkan stress. Jadi jangan terlalu cape atau stress ya! Biar nggak kena Pityriasis Rosea kayak saya, karena rasanya beneran nggak enak dan tersiksa! :)






Monday, October 19, 2015

Soto Bandung


Ini salah satu resep yang lupa di-posting, hehe baru ngeh saat saya ngubek-ngubek isi blog saya. Kok Soto Bandung nggak ada ya, padahal fotonya udah lama disimpen. Setelah diingat-ingat ternyata saya memang sengaja belum posting resep yang satu itu, karena pengen melengkapinya  dengan foto step by step cara memasaknya. Waktu bikin tuh soto memang nggak sempet ngambil foto proses bikinnya karena riweuh. Maunya nanti nyusul aja pas bikin soto lagi. Tapi ternyata, malahan nggak sempet dan akhirnya lupa. Hadeuh. Padahal Soto Bandung ini adalah salah satu menu andalan saya di rumah khususnya saat hari raya.

Soto Bandung ini salah satu soto favorit saya, kenapa? Karena kuahnya bening tapi rasanya gurih banget, terlebih kalo disantap pake sambel rawit yang pedas, huih mantap! Ciri khas dari Soto Bandung memang selain kuahnya bening adalah adanya taburan kacang kedelai goreng dan irisan lobak. Akan tambah segar kalo diberi sedikit cuka atau air jeruk nipis. Hmm yummy! Kenapa juga saya suguhkan jadi sajian utama di hari raya? Karena biasanya, semua menu lebaran itu rata-rata berbumbu berat dan bersantan kental, kayak Opor Ayam, Sayur Godog, Semur, Rendang, Sambal Goreng, dll...nah, Soto Bandung ini jadi pilihan manakala blenek sama yang bersantan-santan. Suami saya cenderung memilih Soto Bandung dibanding Opor Ayam saat makan ketupat. Selain karena menghindari kolesterol, juga karena rasanya yang 'light' dan gurih, nggak bikin enek saat dipadu dengan Semur atau Sambal Goreng Kentang. Mau coba bikin Soto Bandung? Hayu, gampang kok bikinnya dan bumbunya juga simpel. Dijamin ketagihan deh!

Resep Soto Bandung

Bahan :
1 kg daging sapi, iris-iris lalu rebus setengah matang (beri garam secukupnya). Angkat lalu potong dadu, sisihkan bersama air rebusan kaldunya.
2 batang serai
3 cm lengkuas, geprek
3 cm jahe, geprek
3 lbr daun salam
1-2 sdm garam
1 sdm gula pasir
1 sdt kaldu bubuk (optional)

Bumbu halus :
4 bh bawang merah
4 bh bawang putih

Pelengkap :
1 batang bawang daun, iris tipis
2 batang seledri, iris tipis
1 bh lobak (buang kulitnya, iris tipis-tipis, rebus lobak hingga terlihat transparan)
Kacang kedelai goreng (rendam kacang kedelai dengan air hangat hingga mekar, goreng)
Bawang goreng
Sambel cabe rawit (rebus cabe rawit merah, ulek, beri sedikit air, garam dan cuka)
Irisan Jeruk nipis/cuka

Cara membuat :
  1. Siapkan panci, beri minyak goreng secukupnya, tumis bumbu halus hingga wangi
  2. Masukan daging beserta air rebusan kaldunya. Tambahkan air lagi sesuai selera. Masukan daun salam, serai, lengkuas, jahe, garam dan gula. Masak hingga daging empuk. Jika kuah menyusut, bisa tambahkan air lagi. Cek rasa.
  3. Siapkan mangkuk, sajikan soto bersama lobak, kacang kedelai, taburan bawang daun, seledri dan bawang goreng. Beri jeruk nipis/cuka dan sambel bila suka.

 

Sunday, October 18, 2015

Proyek No.34 : Rawon


Jadi ceritanya saya masih punya daging Qurban di freezer dan waktu di tukang sayur, saya liat Kluwek. Kluwek ini sering ditaruh dikresek sama Si Mas Dul (tukang sayur komplek) dicantelin di rak sayurannya. Nggak pernah sekalipun terlintas untuk beli itu Kluwek, secara saya belum pernah punya pengalaman masak pake bumbu yang satu itu. Tapi ketika saya liat Kluwek minggu lalu, tring! tiba-tiba kepikiran untuk coba bikin Rawon. Rawon kan bumbunya pake Kluwek. Boleh dicoba nih, mumpung masih punya daging.

Pertama kali nyoba yang namanya Rawon ini lewat temennya suami yang kebetulan orang Blitar, Jawa Timur. Suatu kali saya dan suami diajak makan di warung makan sederhana di seputaran kampus STPI. Mba Feti, temen suami saya itu, langsung memesankan Rawon buat saya. Dia bilang, Rawon di warung ini enak banget. Sayang, ternyata kami kesiangan dan Rawon-nya tinggal kuahnya saja. Dan Mba Feti ini, dengan bahasa Jawa-nya, bilang ke Ibu warung kalo kuahnya pun nggak apa-apa. Maka disodorilah kami mangkuk berisi kuah berwarna hitam yang ditaburi kecambah dan bawang goreng di atasnya. Heh? Jadi ini toh yang namanya Rawon? Kuahnya hitam begini? Karena dagingnya kehabisan, sebagai gantinya kami pesan ayam goreng saja. Dan saya masih saja takjub sama si kuah ini. Emangnya enak banget ya, sampe kuahnya pun diminta? "Makannya sambil pake ini nih, Mba Ria. Telor asin," kata Mba Feti sambil mengangsur sebutir telor asin ke saya. Saya nurut dan mulailah saya menyendok kuah Rawon untuk pertama kalinya. Begitu diseruput, eits, kok enak ya? Gurih dan kaldu dagingnya terasa banget. Dan itu Kluwek-nya, kok nggak terasa aneh ato gimana-gimana ya di lidah? Kekhawatiran saya akan rasa aneh Si Kluwek ternyata nggak terbukti, karena ternyata kuah Rawon yang hitam legam itu enak banget dan saya suka.

Jadilah saya mengumpulkan beberapa resep Rawon buat referensi, demi suksesnya proyek membuat makanan khas dari Jawa Timur ini. Kebetulan suami sudah hampir 3 minggu dines di Surabaya, jadi  saya pun ingin menyuguhkan sesuatu yang berbau-bau Jawa Timur atau Surabaya di rumah. Dari beberapa resep, saya pun akhirnya memilih untuk berimprovisasi, baik dari jumlah bumbu maupun cara memasaknya. Jadi maafkan ya kalo Rawon versi saya rada 'ngawur' bikinnya, hehe. Semata-mata karena pengen ringkas aja bikinnya dan bumbunya ada yang saya skip karena lagi nggak punya atau sengaja nggak dipake (kayak cabe), karena takut terasa pedas buat si bungsu. Tapi meskipun begitu, Rawon saya endingnya oke lho. Enak beneran enak! Nggak kalah enak sama Rawon di warung makan tempat dulu saya nyoba Rawon untuk pertama kalinya. Anak saya yang nomor dua, Zaki, awalnya nggak tertarik nyobain Rawon bikinan saya. Serem dia liat kuah dan dagingnya yang hitam (oh ya, karena saya bikinnya pagi hari dan disajikan saat makan malam, alhasil dagingnya jadi lebih hitam dan bumbunya lebih meresap). Begitu saya suruh coba (sambil setengah ngancam, hahah), dia pun mengecap-ngecap sambil bilang "Hmm, boleh juga. Mana sini nasinya. Kirain itemnya nggak enak tapi ternyata enak kayak soto gitu ya?" Alhamdulillah, sukses!


Resep Rawon

Bahan :
  • 1 kg daging, potong-potong, rebus hingga setengah empuk (beri sedikit garam), angkat lalu potong dadu, sisihkan bersama air rebusan kaldunya
  • 5 bh kluwek, ambil isinya. Jika isinya agak mengeras, beri sedikit air panas, haluskan.
  • 1 batang daun bawang, potong asal
  • 1 batang sereh, geprek
  • 2 daun salam
  • 4 daun jeruk
  • 3 cm lengkuas, geprek
  • 1-2 sdm garam
  • 1 sdm gula pasir
  • 1/2 sdt kaldu bubuk (optional)
Bumbu halus :

5 bh bawang merah
5 bh bawang putih
3 bh kemiri
3 cm jahe
3 cm kunyit
1 sdm ketumbar, sangrai

Bahan pelengkap :

Bawang goreng
Jeruk nipis
Kecambah, rendam air panas
Sambal cabe
Telur asin

Cara membuat :
  1. Dalam panci, beri minyak goreng secukupnya.Tumis bumbu halus hingga setengah matang lalu masukan kluwek. Aduk-aduk hingga tumisan harum dan matang.
  2. Masukan daging yang sudah dipotong dadu beserta air rebusan kaldunya. Tambahkan lagi air sekitar 1 liter. Aduk-aduk.
  3. Masukan lengkuas, sereh, daun salam, daun jeruk, garam dan gula. Aduk sebentar. Masak hingga daging empuk dan matang. Jika kuah menyusut, tambahkan air lagi sesuai selera. Cek rasa.
  4. Terakhir, masukan daun bawang. Aduk sebentar. Matikan api.
  5. Sajikan dalam mangkuk dengan kecambah, bawang goreng, jeruk nipis, sambal dan telur asin













Thursday, October 8, 2015

Sup Makaroni Tomat



Tiba-tiba kemarin pengen bikin Sup Makaroni yang berkuah merah, rasanya asam manis dan wangi rempah pala. Mumpung tomat lagi murah, boros dikit ga papalah, hehe. Cocoknya sih memang buat disantap pas musim hujan. Tapi berhubung lagi pengen, dibikin juga biar pun hujannya belum turun-turun (musim kemaraunya kali ini lumayan panjang banget). Pake nasi pula lagi makannya, haha. Namanya juga orang Indonesia, kalo nggak makan nasi rasanya nggak nendang :)

Bikinnya cepet, bumbunya ga banyak. Bahannya ayam dipotong kecil-kecil, sosis (kebetulan punya), makaroni, wortel dan kacang merah. Bumbunya tentu saja tomat, saus tomat botolan, lada hitam, pala, bawang putih dan bawang bombai. Untuk tomat, jangan pelit kalo mau bikin sup ini. Tomatnya pakai 5 buah, kalo dikurangin, dijamin nggak nendang deh, hehe. Iya soalnya kalo tomatnya sedikit, kurang terasa segarnya dan kuahnya nggak kental alias 'cawerang' bahasa Sunda-nya mah. Pakai tomatnya utuh, termasuk kulit dan bijinya, bisa diparut atau diblender biar cepet. Untuk kulit dan biji tomatnya, sengaja nggak saya sisihkan biar ga ada yang terbuang. Biar rasa tomatnya terangkat, tambahkan saus tomat botolan juga.  


Berhubung suka banget aroma pala, saya pakai 1 sendok teh lebih. Pokoknya harus wangi dan hangat. Hasilnya, wiih enak banget. Kuahnya kental, rasanya segar perpaduan dari rasa asam tomat dan manisnya gula yang pas, plus wangi pala yang menggugah selera. Mau coba bikin? Monggo..
Resep Sup Makaroni Tomat

Bahan :
  • 100 gr makaroni, rebus setengah matang
  • 200 gr dada ayam, potong kecil-kecil
  • 2 bh sosis sapi, iris-iris (bakso juga oke)
  • 2 bh wortel, iris-iris
  • 150 gr kacang merah, rebus hingga empuk
  • 1 bh bawang bombai, rajang
  • 3 bh bawang putih, cincang halus
  • 5 bh tomat, blender atau parut
  • 5 sdm saus tomat botolan
  • 1 sdm garam
  • 3 sdm gula pasir
  • 1 sdt pala bubuk
  • 1/2 sdt lada hitam bubuk

Cara membuat :
  1. Tumis bawang bombai dan bawang putih hingga wangi
  2. Masukan daging ayam, aduk hingga berubah warna. Tambahkan air kurang lebih 800 ml. Biarkan hingga mendidih
  3. Tambahkan tomat, saus tomat, garam, gula, lada hitam dan pala. Aduk lalu masukan kacang merah. Masak 5 menit
  4. Tambahkan wortel, masak hingga empuk
  5. Masukan sosis dan makroni. Aduk. Jika kuahnya ingin ditambah, beri air lagi, cek rasanya hingga pas.
  6. Sajikan hangat












Wednesday, October 7, 2015

Saatnya Berburu SMA Untuk Teteh (1)

 



Sebenarnya, tulisan ini dibuat saat awal-awal saya dan suami sering mengantarkan Si Sulung mendaftar dan mengikuti tes sekolah menengah atas di awal tahun 2015. Baru saya posting sekarang karena memang tulisannya belum kelar-kelar juga sampai sekarang, heheh. Tulisan saya yang satu ini sekedar sharing tentang pengalaman saya dan suami ketika mencari sekolah untuk Zulfa, putri saya saat kelas 3 SMP kemarin. Tentang kebingungan kami hendak memasukkan ke sekolah mana juga pengalaman ketika mendaftar di beberapa sekolah. Meskipun belum selesai, Insya Allah akan saya lanjutkan sambil jalan ya? Semoga bermanfaat :)


Nggak terasa, Zulfa anak sulung saya sudah mau lulus SMP. Waktu berjalan cepat, bener-bener nggak nyangka gadis kecil saya mulai beranjak remaja dan sebentar lagi bakal jadi anak SMA.

Nah untuk melanjutkan ke SMA mana, giliran saya dan suami yang dibuat pening. Mau ke SMA yang seperti apa? SMA Negeri, SMA Islam full day atau mau pesantren alias Boarding School? Kami berdua sih sepakat untuk tetap memilih sekolah yang berbasis Islam. Tapi sekolah Islam yang sistem pendidikannya seperti apa, boarding atau tidak, berapa biaya masuknya, tentulah menjadi pertimbangan kami. Untuk itu kami mulai melakukan survei dan Googling beberapa sekolah Islam yang tak asing di telinga kami. Sebagai awalan, kami mulai mengumpulkan informasi beberapa sekolah Islam yang cukup familiar dan lokasinya berada di Tangerang. Hasilnya adalah :

SMA IT As- Syukriyyah, Cipondoh
SMA Insan Cendekia Madani  (Boarding), Ciater-Serpong
SMA Islam Sinar Cendekia, Lengkong Gudang-Serpong
MAN Insan Cendekia (Boarding), Serpong
SMA Alia Islamic School, Perum Dasana Indah Bonang-Kelapa Dua
SMA Jagat Arsy (Boarding), Rawa Mekar Jaya, BSD Serpong
SMA Darul Quran Mulia (Boarding), Gunung Sindur
SMA Al Azhar, BSD Serpong
SMA Islamic Village, Karawaci
SMA Global Islamic School, Buaran-Serpong

Sebenarnya masih ada beberapa sekolah Islam lainnya namun kami memutuskan untuk tidak memperpanjang daftar agar bisa lebih fokus. Dan dari daftar di atas, setelah menilai dan mepertimbangkan beberapa hal, kami mengerucutkannya menjadi 4 sekolah saja yaitu As-Syukriyyah, Sinar Cendekia, Darul Qur'an Mulia (DQM) dan MAN Insan Cendekia. Untuk MAN Insan Cendekia, berhubung pendaftarannya baru dimulai saat mendekati ujian akhir dan untuk bisa masuk ke sini susahnya minta ampun, maka kami coba lebih dulu mendaftarkan Teteh ke Sinar Cendekia, As-Syukriyyah dan DQM.

Selanjutnya adalah searching sekolah Islam di luar Tangerang, yang tentu saja artinya pesantren atau Boarding School. Beberapa Boarding School sudah cukup familiar bagi kami (rekomendasi dari teman yang anaknya bersekolah di sana dan info dari mulut ke mulut ). Diantaranya :

As-Syifa Boarding School, Subang
Al Kahfi Boarding School, Lido-Sukabumi
Nurul Fikri Boarding School, Lembang-Bandung
Nurul Fikri Boarding School, Serang, Banten
Cahaya Madani Banten Boarding School (CMBBS), Pandeglang, Banten

Dan setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya kami putuskan untuk mencoba daftar ke As-Syifa, Al Kahfi dan CMBBS.

Untuk masuk ke sekolah boarding, jujur kami sebenarnya masih agak berat (terutama suami saya tuh, hehe). Jauh dari anak perempuan satu-satunya, sekolah dan tinggal di asrama yang jaraknya ratusan kilometer dari rumah, tentu saja bakal kehilangan dan banyak kekhawatiran. Gimana kalo Teteh sakit? Gimana makannya? Gimana belajarnya? Gimana sekolahnya? Kami yang sudah terbiasa dengan riweuhnya si Teteh saat mengerjakan tugas sekolah, mencerewetinya saat keasyikan main hp atau nonton tv disela-sela belajar, menampung celotehannya yang heboh  tentang kejadian-kejadian  di sekolah... rasanya kok ya berat. Belum siap untuk kehilangan momen-momen itu kalau seandainya diterima di sekolah boarding nanti.

"Emang Teteh mau boarding?" selidik kami suatu kali. "Mau aja sih," sahutnya santai. Entah beneran santai atau nggak antusias sebenarnya, haha. Tapi baiklah, sebagai orangtua tentunya kami akan mendukung apa pun cita-cita putri kami, termasuk keinginannya untuk sekolah boarding. Maka survei dan pendaftaran sekolah untuk Teteh pun dimulai.

Sekolah pertama yang kami datangi langsung adalah SMA Islam Sinar Cendekia di Lengkong Gudang, Serpong. Kenapa sekolah ini yang pertama kami survei? Tak lain dan tak bukan karena sekolah ini letaknya tak jauh dari trek JPG (Jalur Pipa Gas), trek sepeda favorit suami saya  yang sering dikunjungi tiap akhir pekan. Gedung sekolah Sinar Cendekia yang tampak unik dan mencolok dari jalan raya ini sering dilalui suami tiap kali gowes di sana. Jadilah sekolah ini target pertama dalam perburuan sekolah Teteh.

Memasuki gerbang Sinar Cendekia, kami sudah disuguhi beberapa banner/spanduk tentang keberhasilan siswa-siswi Sinar Cendekia yang meraih juara di beberapa lomba, mulai dari tingkat TK hingga SMA. Secara tidak langsung, hal ini menjadi daya tarik bagi kami, setidaknya menambah satu poin positif bahwa sekolah ini memiliki sejumlah anak-anak berprestasi.

Rencananya, kami hanya ingin mencari informasi terlebih dahulu tentang PSB di Sinar Cendekia, kapan buka pendaftaran, berapa biaya masuknya, bagaimana sistem belajar-mengajarnya, apakah ada Tahfiz Qur'an atau tidak, apakah ada aturan interaksi antara siswa putra (ikhwan) dengan siswa putri (akhwat), dll. Menghadapi kami yang lumayan 'bawel', Mbak di Bagian Resepsionis pun akhirnya mempersilahkan kami bertemu langsung dengan staf sekolah, yang kalau tidak salah adalah Wakil Kepala Sekolah untuk Bagian Kesiswaan. Dari beliau, kami mendapat banyak informasi dan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan.






Setelah mendapatkan informasi yang cukup lengkap dari beliau, maka kami pun langsung mendaftar ikut Gelombang 1 (November-Januari). Sebenarnya dari segi biaya, sekolah ini cukup mahal bagi kami. Lokasi sekolahnya pun lumayan jauh dari rumah. Tapi melihat adanya kesamaan visi dan beberapa poin positif dari sekolah ini, maka kami pun Bismillah saja memberanikan diri mendaftarkan Teteh. Apalagi ternyata yang punya sekolah ini adalah Ketua Senat  saat saya kuliah di Depok dulu, hihi. Pokoknya sekarang mah daftar sekolah sebanyak mungkin dulu deh, masalah mau diterima atau tidak, urusan nanti. Semakin banyak ikut tes masuk, semakin memiliki banyak pilihan sekolah 'back up' jika seandainya tidak diterima di salah satu sekolah pilihan. Maka setelah melakukan pengembalian form, tinggal menunggu tes seleksi pada bulan Januari yaitu Psikotes dan Wawancara Orangtua kemudian dilanjut keesokan harinya dengan Tes Akademik (Matematika & Inggris), Tes Al Qur'an, Test Kesehatan dan Wawancara Siswa.

Selanjutnya adalah mendaftar ke As-Syifa Boarding School Subang. Untuk sekolah yang satu ini kami tak perlu melakukan survey lagi karena pernah berkunjung sekitar dua tahun lalu saat Teteh kelas 1 SMP. Sekolah boarding yang satu ini sudah cukup terkenal dan memiliki fasilitas yang lumayan lengkap. Gedung sekolah dan asrama serta sarana lainnya cukup baik, tertata rapi dan modern. Lokasinya yang lumayan dekat ke Lembang/Tangkuban Parahu serta Wisata Air Panas Ciater, membuat As-Syifa banyak dilirik para orangtua. Jadi bisa sekalian refreshing manakala menengok anaknya nanti. 

Untuk pendaftaran siswa baru As-Syifa dilakukan sekitar bulan Desember secara online melalui website resmi As-Syifa dan selanjutnya melaksanakan daftar ulang langsung ke Subang. Kami pun segera mendaftarkan Teteh saat mendapat informasi pendaftaran. Setelah mengisi beberapa form dan persyaratan serta mentransfer biaya pendaftaran, maka tinggal menunggu saatnya pengumuman daftar ulang. Saat daftar ulang ke Subang ini, lagi-lagi kami dihinggapi keraguan. Kalau seandainya diterima, apakah akan diambil? Teteh sendiri nampak antusias mengikuti tahap demi tahap agenda daftar ulang yang juga sekaligus tes wawancara dan tes kesehatan. Melihat banyaknya peserta dari berbagai kota, sepertinya Teteh mulai tertantang untuk berkompetisi dan tertarik untuk sekolah boarding di sini. "Aku mau sekolah di sini deh, " ujarnya sambil nyengir. " Tapi kalo nggak keterima di CMBBS sama MAN IC." Oke, oke daftar aja dulu, ikut tes aja dulu, semoga mendapatkan pilihan yang terbaik, begitu ujar kami. Usai mengikuti tes wawancara dan tes kesehatan, maka tinggal menunggu tes berikutnya, yaitu tes akademik. Untuk tes akademik ini, Alhamdulillah lokasinya tak jauh mesti ke Subang, melainkan di daerah Cibubur. Tes akademik ini meliputi mata pelajaran B. Inggris, Matematika dilaksanakan pada bulan Februari.

Selanjutnya adalah mendaftar ke CMBBS (Cahaya Madani Banten Boarding School) yang berlokasi di Pandeglang. Untuk pengalaman mendaftar di CMBBS, bisa dibaca di part 2 tulisan ini ya!







Tuesday, October 6, 2015

Proyek No.33 : Udang Bakar Madu



Punya udang agak gede di kulkas dan Si Teteh kemarin nyebut-nyebut Restoran Mang Engking yang baru buka cabang baru di Citra Raya. Jadi kepikiran untuk bikin Udang Bakar Madu kayak Mang Engking deh. Udang Bakar Madu-nya Mang Engking emang top banget, tapi lumayan mahal juga harganya. Jadi kenapa nggak coba bikin di rumah aja ya? Udang yang ada di kulkas sih emang bukan udang Galah, tapi nggak papalah, yang penting mah udang, hihi. Ntar kalo berhasil, baru deh coba pake udang Galah beneran. Alhasil, merapatlah ke laptop dan didapatlah beberapa resep Udang Bakar Madu a la Mang Engking.

Ada dua versi, yaitu versi yang udangnya digoreng dulu sebelum dibumbui dan versi yang udangnya langsung dibumbui tanpa digoreng terlebih dahulu. Mana yang benar? Hmm setahu saya sih, pernah lihat di tv waktu ada liputan tentang Restoran Mang Engking, si udangnya itu digoreng terlebih dahulu baru dibumbui. Jadi saya pun mengambil versi yang digoreng terlebih dahulu. Untuk bumbunya, cuma sambel dan saus botolan, kecap manis, lada dan madu. Wah, simpel banget ya? Maka saya pun ngoprek di dapur, mencoba mengolah udang yang, euhh udah 3 harian ngendon di kulkas (semoga masih segar) menjadi udang enak a la restoran.

Dan ternyata udangnya agak kurang segar, ujung kepalanya ada yang mulai kehitaman. Jadi ya sudah, kepalanya dibuang saja. Lagipula anak-anak biasanya emang selalu menyisakan bagian kepala dan ekor di pinggir piring tiap kali makan udang. Nah setelah udangnya dibersihkan, saya tambahkan perasan air jeruk lemon (kebetulan punya) lalu diamkan beberapa saat. Setelah dibilas dan ditiriskan, goreng udang sebentar sampai bentuk udangnya melengkung semua, angkat lalu masukan ke dalam bumbu yang sudah disiapkan.

Untuk bumbunya, saya pakai saus dan sambal botolan, kecap manis, lada hitam, madu dan sedikit garam. Semua diaduk menjadi satu sambil tak lupa dicicipi hingga menemukan rasa yang pas. Udang yang digoreng sebentar tadi dimasukan ke dalam wadah saus lalu diaduk dan ditusuk dengan tusukan sate. Karena nggak mau ribet, udang akhirnya nggak dibakar tapi dipanggang di atas teflon, hehe. Nggak papalah, yang penting ada gosong-gosongnya. Sambil dibolak-balik, udang diolesi sisa saus agar rasanya makin enak dan udangnya tetap lembab.

Akhirnya, saat makan siang pun tiba dan Udang Bakar Madu pun disajikan. Wih, sedapnya! Meskipun bukan udang Galah, rasanya tak kalah enaknya lho dengan udang yang gendut itu. Manis, asam, pedas...yumm!


Resep Udang Bakar Madu

Bahan :
  • 500gr udang ukuran agak besar (kalo ada sih udang Galah), bersihkan kotoran di kepalanya, potong bagian runcingnya
  • Perasan air lemon/jeruk nipis
  • Tusuk sate

Bumbu :
  • 4 sdm saus tomat botolan
  • 3 sdm saus sambal botolan
  • 1 sdm kecap manis
  • 1 sdt bubuk lada hitam
  • 2 sdm madu
  • 1/2 - 1 sdt garam
Cara membuat :
  1. Udang yang telah dibersihkan diberi perasan jeruk lemon/nipis. Diamkan beberapa saat, setelah itu bilas dan tiriskan
  2. Goreng udang di atas minyak panas, sampai bentuk udangnya melengkung, angkat. Masukan udang ke dalam bumbu saus. Aduk hingga tercampur merata.
  3. Tusuk udang satu persatu dengan tusukan sate lalu bakar/panggang di atas teflon panas. Bolak-balik sambil diolesi sisa saus.
  4. Sajikan