Wednesday, December 30, 2015

Proyek No.36 : Soto Betawi A la H. Mamat



Makan di warung Soto H. Mamat memang kesukaan anak saya dan suami. Kalo saya dan suami lebih milih oseng dagingnya, sedangkan anak-anak soto santannya. Kalo bikin oseng daging a la H. Mamat sih udah bisa (Proyek No.13 : Oseng Daging A la H. Mamat) nah untuk sotonya, jujur belum bisa tuh niru resepnya. Pernah coba bikin, enak sih, tapi rasanya tetep aja nggak sama persis kayak Soto H. Mamat.

Nah kemarin saya coba bikin Soto Betawi lagi. Awalnya sih nggak terlalu diniatin bikinnya mirip soto H. Mamat. Pasrah karena saya nggak tau resepnya dan saya juga males ngulik bumbu-bumbu dapur. Yang penting soto pake santan. Titik.

Karena asal jadi, maka saya pun bikin bumbu soto yang simpel. Ambil bawang merah, bawang putih, kemiri dan 2 buah cabe merah, diblender (biar cepet). Kunyit, ketumbar sama lada sengaja nggak pake dulu. Saya coba polosan dulu bumbunya. Setelah halus, tumis bumbu tadi dengan tambahkan secuil kayu manis, 1 buah daun salam dan 1 buah sereh. Semua minimalis dulu, nggak banyak bumbu. Aduk terus hingga tumisan tercium wangi. Dan ternyata wanginya ada yang kurang nih. Maka saya tambahkan 1 sendok teh ketumbar bubuk dan 1 cm jahe digeprek. Aduk lagi hingga wangi lalu tambahkan air rebusan daging dan santan kental. Aduk perlahan dengan api kecil biar santan nggak pecah. Karena seingat saya warna kuahnya agak merah kekuningan, maka saya tambahkan kunyit bubuk 1/2 sendok makan. Setelah itu baru masukan potongan daging yang sebelumnya sudah direbus hingga empuk. Tambahkan garam dan gula lalu tunggu hingga kuah mendidih. Angkat daun salam dan daun sereh supaya aromanya nggak dominan. Begitu dicek rasanya, hmm...manis gurihnya pas. Wanginya udah mirip Soto Betawi dah. Oke selesai. Tinggal disajikan dengan potongan tomat, emping, daun bawang dan bawang goreng.

Begitu disajikan di meja, Si Aa keliatan nggak antusias dengan sotonya. "Aku kan nggak minta soto, maunya oseng." Emang sih, Zaki request oseng daging a la H. Mamat. Dan saya pun sudah menyiapkannya di meja. Soto ini sebenernya request-nya Si Teteh Zulfa. Tapi karena sudah disiapkan, akhirnya Si Aa menyendoki juga sotonya. Dan reaksinya di luar dugaan saya.

"Ih, sotonya mirip Haji Mamat, Mi! Beneran!" serunya sumringah. Berkali-kali dia seruput kuahnya, memastikan lidahnya nggak salah. Begitu Teteh datang ke meja, Si Aa pun heboh promosi. "Mirip Haji Mamat lho, Teh, serius!" Si Teteh pun mulai menyendok kuah soto-nya. "Nggak sama, " ujarnya. "Kalo yang Ummi kuahnya beneran kayak soto, kalo Haji Mamat kuahnya kayak kuah daging"

Heh, maksudnya gimana sih Si Teteh teh?

"Eh iya, ding. Sama kayak Haji Mamat." Si Teteh tiba-tiba nyengir menganulir ucapannya. Ternyata memang soto saya kali ini betul-betul mirip soto santan Haji Mamat. Persis sama! Haha, alhamdulillah! Padahal bumbunya improvisasi semua lho. Mau bikin juga di rumah? Sok mangga diliat resepnya :)


Resep Soto Betawi A la H. Mamat

Bahan :
  • 1/2 kg daging sapi, rebus hingga empuk dengan dibubuhi garam secukupnya, potong-potong kecil, sisihkan
  • 1 lembar daun salam
  • 1 lembar daun sereh
  • Secuil kayu manis
  • 1 cm jahe, geprek
  • 2 bh santan siap pakai (saya pakai SunKara 65ml)
  • 1/2 sdm kunyit bubuk
  • 2 sdm gula pasir
  • 1/2 sdm garam
  • 1 sdt garam gurih atau 1/2 sdt penyedap rasa (optional)
  • 1 liter kaldu daging
  • 1 liter air
Bumbu halus :
  • 5 bh bawang merah
  • 4 bh bawang putih
  • 3 bh kemiri
  • 2 bh cabe merah
  • 1 sdt ketumbar (saya pake yang bubuk)
Pelengkap : Irisan tomat, daun bawang, bawang goreng, emping, acar timun, jeruk nipis dan sambal

Cara membuat :
  1. Tumis bumbu halus, kayu manis dan jahe hingga wangi
  2. Masukan daun salam dan sereh, aduk sebentar
  3. Tambahkan air, air rebusan daging (kaldu) dan santan
  4. Masukan daging, garam, gula dan kunyit bubuk. Aduk sekali-kali hingga kuah mendidih dengan api kecil agar santan tidak pecah. Buang daun salam dan sereh. Cek rasa.
  5. Sajikan dengan bahan pelengkap



Thursday, November 12, 2015

Sambel Bawang A la Bu Rudy




Tau sambal bawang Bu Rudy dong? Beuuh, mantep! Pedesnya seuhah pisan. Tapi biar pun pedesnya meledak, bikin ketagihan lho!

Pertama nyoba sambel Bu Rudy tuh waktu dulu suami pulang dines dari Surabaya dan bawa satu paket oleh-oleh Bu Rudy. Isinya macem-macem, ada udang, udang kremes, srundeng, krupuk dan 3 botol sambel bawang. Pedesnya nendang banget tapi anehnya ayo aja nggak berenti nyolek lagi, nyolek lagi, nyolek lagi tuh sambel. Biarpun cocolannya cuma nasi putih doang, enak aja makannya, biarpun lauknya udah abis dan biar pun keringet udah bercucuran segede jagung.

Saking sukanya, saya berusaha nyari tau cara bikin tuh sambel. Secara kan lebih irit dan efisien kalo bikin sendiri, hehe. Kalo beli pan kudu ke Surabaya dulu, ato nggak beli online. Dan ternyata bikinnya emang gampang. Maka saya pun akhirnya nyetok sambal bawang bikinan sendiri ini di toples kecil. Rasanya nggak jauh beda dengan sambal Bu Rudy yang asli lho.

Dan kemarin suami pulang dari Surabaya dan tumben-tumbenan bawain sambel Bu Rudy (biasanya tiap kali dines ke Surabaya selalu bilang nggak sempet beli). Seneng sih akhirnya bisa nyicip lagi sambel yang terkenal itu, setelah sekian lama nggak nemu. Tapi sedihnya, sambel bawang yang emang kesukaan saya malah nggak ada. Kehabisan, cuma dapet sambal teri dan sambal terasi doang. Ya udah bikin sendiri aja deh. Kebetulan memang udah lama juga nggak bikin sambel bawang.

Jadi bikin sambel bawang a la Bu Rudy ini simpel banget. Ciri khasnya sambel ini adalah: Pertama, pedesnya harus 'ngajeletot' (panas meledak), kedua, aroma bawangnya mesti terasa, ketiga, rasanya asin gurih dan keempat, minyak gorengnya melimpah. Nah, untuk menghasilkan sensasi panas yang meledak tadi, cabai rawitnya pakai cabai rawit setan alias cabai rawit yang merah gendut-gendut itu plus cabe rawit hijau. Biar aroma bawangnya kuat, bawang merahnya pake lebih banyak. Dan biar tahan lama di toples, jangan pelit minyak. Buat yang cemen, cukup nyocol minyaknya aja, hehe. Nggak sih, jadi fungsi si minyak ini sebagai pengawet alami sambal.  Biar nggak cepat basi.


Cara bikinnya yaitu cabai rawit dan bawang dimasak dengan api kecil. Nggak usah lama-lama, kalo udah keliatan setengah layu, matikan apinya. Kenapa demkian, karena nanti kan cabainya dimasak lagi setelah diulek. Jadi biar daging cabainya tetep bagus tebel, nggak kriting kematengan, makanya jangan terlalu lama masaknya. Abis itu, ulek kasar cabai dan bawangnya. Oh ya, biar ringkes, saya mah ngulek cabainya langsung di wajannya aja, soalnya kan nanti dimasak lagi. Daripada bolak balik dari wajan ke ulekan trus dari ulekan balik lagi ke wajan, mending langsung sekalian ngulek di wajan, hehe. Setelah diulek, tambahkan garam gurih atau garam dan sedikit kaldu bubuk atau cukup garam saja (jangan pake gula). Masak sebentar lalu pindahkan langsung ke dalam toples. Maksudnya sih biar toplesnya jadi tersterilkan juga oleh panas si sambal jadinya sambal bisa tahan lebih lama. Kalo udah dingin, baru deh tutup rapat toplesnya. Selesai dan sambal bawang a la Bu Rudy siap menjontorkan bibir anda, hehe.


Resep Sambel Bawang A la Bu Rudy


Bahan :

  • 30 bh cabai rawit, campur rawit merah dan rawit hijau
  • 8 bh bawang merah
  • 1/2 - 1 sdt garam gurih atau garam biasa
  • Minyak goreng


Cara membuat :

  1. Siapkan wajan. Masukan cabai rawit dan bawang. Tambahkan minyak goreng hingga seluruh cabai terendam. Masak dengan api kecil sambil diaduk-diaduk hingga setengah layu. Matikan api.
  2. Ulek kasar cabai dan bawang tadi. Panaskan kembali dengan api kecil. Beri garam, aduk rata. Matikan api. 
  3. Panas-panas, masukan sambal ke dalam toples kaca. Tutup toples setelah sambal dingin.
  4. Siap disantap












Friday, October 30, 2015

Proyek No.35 : Dakdoritang, Ayam Kuah Pedas Korea



Hiyaa, ini nih satu lagi korban akibat nonton channel Korea. Gara-gara liat acara The Nation's Big Three di One channel beberapa hari yang lalu, Si Teteh jadi ngiler pengen juga bikin masakan Korea yang sama. Entah namanya apa, tapi yang jelas sejenis ayam berkuah merah pedas, dengan potongan kentang dan sliweran bawang bombai serta daun bawang di dalamnya. "Bikin, Mi! Hadeeh," pintanya sambil nelen air liur. Matanya terus saja melototin tv, melihat ayam berkuah merah itu tengah bergolak-golak di atas api dan sekali-kali dikomentari host-nya. Kuah merahnya itu lho, bikin ngeces asli! Kayaknya enak banget, apalagi saat host-nya mencicipi satu demi satu masakan kontestan. Melihatnya menyantap ayam pedas panas-panas, apalagi saat digigit dagingnya, itu lunaak banget sampe terlepas dari tulangnya. Sampai-sampai host-nya keringetan saking pedas dan panasnya. Wuidih, ngilernyaa...

Maka, ketika tukang sayur komplek menawarkan ayam yang tinggal 1 ekor lagi, saya pun langsung membelinya. Oke Teh, ayo kita bikin ayam kuah pedas a la Korea yang tempo hari bikin kita 'menderita' itu! Namanya apa? Bumbu masaknya apa aja?Entahlah. Let's find out di Mbah Google, hehe.

Ternyata, namanya Dakdoritang atau Dakbokkeumtang, sodara-sodara. Jadi Dakdoritang ini olahan ayam yang direbus bersama kentang, wortel, bawang bombai dan bawang daun dengan dibumbui pasta cabai Gochujang, cabai bubuk, kecap asin dan bawang putih. Karena dimasak agak lama sekitar 30 menit dengan api yang tidak terlalu besar, maka hasilnya si ayam ini jadi lembut, sekali gigit langsung 'mlocot' dari tulangnya, hehe. Rasanya jelas pedas karena memakai pasta Gochujang dan cabai bubuk sekaligus. Untuk membuktikan sepedas dan seenak apa rasanya, saya pun langsung praktek dengan berpatokan pada resep sederhana Maangchi. Ga sama persis, takarannya saya modif sendiri.

Saya masih punya pasta Gochujang, tapi kali ini mau coba pakai tiruannya saja yaitu sambel Dua Belibis ditambah kecap asin Indofood dan cabai bubuk. Pengen nyobain aja seperti apa rasanya kalo nggak pakai Gochujang. Caranya, 4 sendok sambel Dua Belibis, 1 sendok cabai bubuk dan 1 sendok kecap asin Indofood saya aduk rata. Setelah itu saya siapkan bumbu lain yaitu bawang putih cincang halus, kecap asin, cabai bubuk dan gula pasir. Aduk semua bumbu tadi dalam panci lalu masukan ayam yang sudah dipotong-potong. Kalo bisa sih ayamnya dipotong lebih kecil dari biasanya, supaya gampang makannya dan bumbu lebih cepat meresap. Aduk ayam hingga tercampur rata dengan bumbu lalu beri potongan bawang bombai, jahe geprek dan segelas air. Masak deh hingga dagingnya empuk kurang lebih 20 menit. Setelah daging empuk, tambahkan potongan kentang dan segelas air lagi lalu masak lagi sekitar 15 menit. Terakhir masukan wijen dan potongan bawang daun, aduk hingga layu. Selesa deh.

Ada satu bumbu yang saya bingung kenapa nggak disertakan  di setiap resep Dakdoritang yang saya baca. Garam. Saya nengok beberapa resep Dakdoritang kok nggak pake garam ya? Oke saya pun ngikut nggak pake garam, awalnya. Tapi setelah ayamnya mulai empuk dan kuahnya menggugah selera, icip-iciplah saya. Slurp, ehh...bentar. Slurp...ehh...manis ya? Pedes sih, tapi manis. Ekspektasi saya rasanya memang bakal manis, pedas tapi ada gurihnya juga (emang dasarnya lidah saya cenderung ke asin dan gurih sih, hehe). Jadi karena saya lebih suka agak gurih, maka saya tambahkan garam sepasnya aja. Hasilnya menurut saya sih lebih enak meskipun tetap dominan manisnya. Oh ya, diakhir acara masak, saya tergoda untuk menambahkan pasta Gochujang ke dalam panci. Penasaran seperti apa rasanya kalo pakai Gochujang beneran. Dan ternyata aroma fermentasinya lah yang menonjol. Hmm kayak ada rasa Tauco nyempil diantara pedas dan kentalnya kuah Dakdoritang.

Unik sih dan tentu saja enak. Cocoknya disantap saat masih panas dan menurut saya sih enaknya dimakan nggak pake nasi alias digadoin, hehe. Dan kuahnya yang kental itu emang bener, nikmat banget kalo ditambahin mie rebus. Jadi Ramyun gitu. Penasaran? Ayo bikin, gampang kok!











Resep Dakdoritang

Bahan : 
  • 1 ekor ayam, potong-potong kecil atau sesuai selera
  • 2 bh kentang ukuran besar, potong kotak
  • 1-2 bh bawang bombai, potong kotak
  • 4 bh bawang putih, cincang halus
  • 1 bh bawang daun, potong-potong
  • 2 sdm pasta Gochujang (Bisa diganti dengan 4 sdm sambal Dua Belibis+1 sdm kecap asin Indofood+1 sdm cabai bubuk. Jika ingin aroma fermentasinya kuat, bisa tambahkan 2 sdm Tauco)
  • 2 sdm kecap asin
  • 2 sdm cabai bubuk
  • 2 sdm gula pasir
  • 1/2 sdm garam atau sesuai selera (aslinya nggak pake)
  • 2 cm jahe geprek
  • 2 gelas air

Cara membuat :
  1. Campurkan jadi satu Gochujang, bubuk cabai, kecap asin, gula pasir dan bawang putih cincang dalam panci. Aduk rata.
  2. Masukan potongan ayam yang telah dicuci. Aduk hingga tercampur dengan bumbu. Tambahkan bawang bombai, jahe dan segelas air. Aduk. Tutup panci, masak dengan api sedang selama 20 menit.
  3. Masukan kentang dan garam. Tambahkan segelas air lagi jika kuah menyusut. Aduk. Tutup panci, masak 15 menit.
  4. Cek rasa. Jika sudah pas, tambahkan wijen dan daun bawang. Aduk dan masak sekitar 3 menit. Matikan api.
  5. Sajikan panas















Sunday, October 25, 2015

Pityriasis Rosea, Pity You, Ria!



Sebelumnya maaf ya kalo foto di atas terlihat cukup horor dan menjijikkan. Bukan, itu bukan Panu tapi namanya Pityriasis Rosea. Apa sih Pityriasis Rosea? Nah itu dia, biar pada ngeh sama penyakit kulit yang satu ini maka mau saya sharing. Apa, penyakit kulit? Hiii, ngapain dibahas di sini? Kenapa pula mesti disharing? Mungkin pada bingung dan ilfil ya liat tulisan saya kali ini. Well, buat yang nggak tertarik dengan tulisan saya kali ini, boleh skip kok, tapi percayalah, isinya bermanfaat. Apalagi buat mereka yang tengah kebingungan, seperti halnya saya dulu saat terkena penyakit ini. 

Jadi awalnya saya heran saat ngeliat pergelangan tangan saya tiba-tiba berbintik-bintik merah. Bentuknya kecil-kecil, mirip bekas digigit nyamuk. Oke, saya digigitin sekawanan nyamuk, begitu pikir saya. Karena memang terasa gatal, sesekali. Tapiii, ternyata saat mandi, saya baru ngeh ternyata si bintik-bintik ini sudah lebih dulu muncul di bagian lain yaitu di punggung, perut dan paha. Terbukti karena bentuk bintiknya lebih lebar dibanding dengan yang di pergelangan tangan dan warna berubah jadi pink. Jumlahnya nggak banyak, hanya beberapa spot saja, tapi lumayan bikin saya panik. Malah saya nemu yang lebih besar lagi bentuknya, ya seperti foto di atas tadi. Ya ampun, saya kena penyakit Panu yang massive!

Hah? Kok jorok sih kena Panu! Aduuh, saya kan rajin mandi dan jaga kebersihan badan. Alhasil saya pun diam-diam mengoleskan salep anti jamur ke spot-spot pink di sekujur tubuh, takut makin melebar. Saya pun mulai memisahkan pakaian kotor saya dengan pakaian lain saat mencuci baju. Mandi pun jadi  memilih pakai sabun khusus kesehatan dan nggak berani jemur handuk dekat handuk lain.Takut penyakit kulit saya menular ke anak-anak dan suami. 

Saya pun mulai Googling di internet, ini penyakit kulit jenis apa. Masalahnya kok bentuknya berubah,  yang awalnya bintik kecil kemudian berubah jadi kayak cacar lalu berakhir jadi bersisik kayak Panu. Diberi obat anti jamur pun kok kayaknya nggak ada perubahan apa-apa. Mandi pake sabun kesehatan yang mengandung apalah gitu, kok tetep aja bintiknya malah makin banyak. Ini kenapa??? Saya belum berani ke dokter. Saya akan cari tahu sendiri, siapa tahu bisa diobati tanpa pake resep dokter. Maka satu per satu penyakit kulit saya cari tahu di internet. Harus kuat lihat foto-foto yang lumayan 'mengerikan' terpampang di layar monitor laptop, demi menyelidiki jenis penyakit kulit yang saya derita. Dan akhirnya saya menemukan satu jenis penyakit kulit yang bentuknya mirip dengan yang  saya alami yaitu Pityriasis Rosea. Sekilas saya baca, namun intinya penyakit ini adalah penyakit kulit yang tidak menular dan bisa sembuh sendiri. Penyebabnya virus yang belum diketahui dan bisa menyerang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Oke, mungkin jenis yang menyerang saya ini Pityriasis Rosea, tidak menular dan sembuh sendiri. Aman, pikir saya saat itu. Kayaknya sih iya terkena Pityriasis Rosea, jadi nggak usah ke dokter kan? Saya keukeuh nggak mau ke dokter saat itu.

Tapiii...setelah hampir 3 minggu nggak ada perubahan dan salep anti jamur udah habis 1 tube, dan suami serta anak-anak mulai ngeh badan saya dipenuhi dengan bintik-bintik mengerikan, dan saya mulai kegatelan serta obat Caladine mulai habis, akhirnya saya pun menyerah dan pergi juga ke dokter kulit. Baiklah saya ke dokter kulit, tapi saya nggak mau dokter kulit laki-laki. Harus perempuan karena yakin badan saya pasti bakal diperiksa semua. Semua spot bakal diobservasi sama si dokter kulit. Jadilah saya pergi ke Rumah Sakit Siloam yang lumayan dekat dari rumah. Saya pilih dokter kulit perempuan.

Begitu masuk ruang dokter, saya agak kaget juga. Rupanya ada dua orang calon dokter, mahasiswa kedokteran Universitas Pelita Harapan sepertinya, yang ikut hadir di situ. Satu mahasiswi dan satu mahasiswa. Waduh, bagaimana ini. Habislah saya nanti diobservasi mereka, apalagi yang satu mahasiwa. Duuh mau bagaimana lagi, sudah kadung masuk. Kondisi darurat, nggak papalah, Bismillah aja. Saya pun langsung duduk berhadapan dengan  Bu Dokter Kulit yang nampak sudah sangat senior, sementara dua orang mahasiswa magangnya duduk tak jauh dari situ memperhatikan saya.

"Kenapa, Bu?"
"Ini Dok, badan saya kok banyak bintik-bintik ya, kayak cacar tapi nggak berair..."
"Coba seperti apa?"

Saya pun menyodorkan lengan saya ke arah Bu Dokter. Bu Dokter langsung memeriksa sejenak, lalu sejurus menatap saya sambil tersenyum.

"Waduh, Ibu kecapean, ya? Ibu stress ya?

Hah? Kok nanya itu sih Bu Dokter-nya. Saya pun cengar-cengir. Gimana ya, iya sih, belakangan ini saya kembali jadi 'Tukang Ojek' anak-anak setelah vakum hampir 5 tahun. Saya mulai antar jemput sekolah anak saya, Zaki, yang jaraknya kurang lebih 13 km. Balik lagi ke rumah jadi sekitar 26 km. Habis itu lanjut nganter Si Teteh Zulfa sekolah yang jaraknya 1 km. Balik lagi ke rumah jadi 2 km. Total tiap pagi saya 'momotoran' 28 km. Belum jemputnya lagi nanti sore. Totalin sendiri deh, haha.. lumayan beratkan hidup saya? (hiks, nasib ga bisa nyetir mobil). Ya pokoknya intinya bener saya kecapean.

"Jadi nama penyakit kulit Ibu ini kedengerannya sih keren, Pityriasis Rosea. Menyerang saat kondisi atau imunitas seseorang sedang lemah. Bisa karena kecapean atau stress"

Tuh kan bener! Pityriasis Rosea kan? Hadeuuh, tau kayak gini mending nggak usah ke dokter ya, soalnya kan sembuh sendiri, hehe (dan saat bayar di kasir, ternyata biayanya lumayan mahal, untuk  dokter plus obat total hampir 500 ribu! *Glek). Akhirnya saya pun pasrah waktu Bu Dokter memeriksa tubuh saya. Seolah saya ini jadi alat peraga, ruam-ruam yang menghiasi beberapa bagian tubuh saya pun ditelisik dan diterangkan pada dokter magangnya. 

Jadi persis seperti yang saya baca di internet kemarin, Si Pity-pity ini penyebabnya adalah virus yang belum diketahui jenisnya. Penyakit kulit yang satu ini dapat sembuh sendiri (self limited) dan tidak menular. Biasanya akan sembuh dalam jangka waktu 2-8 minggu bahkan bisa berbulan-bulan tergantung kondisi seseorang. Menurut Si Bu Dokter ini, ruam-ruam kecil berwarna pink ini biasanya akan disertai dengan satu ruam yang cukup besar yang disebut induk (Herald Patch). Jadi awalnya muncul induknya dulu (seperti pada gambar di atas), setelah itu barulah bermunculan bintik-bintik kecil lainnya menyebar. Akan terasa gatal manakala tubuh kita berkeringat atau basah dan biasanya terjadi menjelang malam hari. Obat yang diberikan pun hanya berupa anti alergi, vitamin dan salep untuk mengurangi rasa gatal. Tidak ada antibiotik atau obat yang langsung bisa menghentikan penyebaran Si Pity-pity ini. 

Obat yang diberikan dokter kulit

Saya sendiri baru denger ada penyakit kulit seperti ini dan cukup melegakan karena ternyata tidak menular ke orang lain dan sembuh sendiri tanpa meninggalkan bekas. Tapi memang butuh kesabaran tinggi karena selama berminggu-minggu, saya harus bertahan dari gempuran rasa gatal dan ketidak nyamanan melihat ruam-ruam kecil menyebar dan bersisik seperti Panu. Kulit mulus pun berubah jadi burik selama berminggu-minggu, uh! Tapi Alhamdulillah, akhirnya penderitaan saya berakhir di minggu ke-9 (2 bulan 1 minggu). Perlahan-lahan, ruamnya mulai mengering dan akhirnya benar-benar hilang tak berbekas. Saran dari dokter sih, makanlah secara teratur, jaga stamina tubuh agar tidak drop dan hindari hal-hal yang bisa menyebabkan stress. Jadi jangan terlalu cape atau stress ya! Biar nggak kena Pityriasis Rosea kayak saya, karena rasanya beneran nggak enak dan tersiksa! :)






Monday, October 19, 2015

Soto Bandung


Ini salah satu resep yang lupa di-posting, hehe baru ngeh saat saya ngubek-ngubek isi blog saya. Kok Soto Bandung nggak ada ya, padahal fotonya udah lama disimpen. Setelah diingat-ingat ternyata saya memang sengaja belum posting resep yang satu itu, karena pengen melengkapinya  dengan foto step by step cara memasaknya. Waktu bikin tuh soto memang nggak sempet ngambil foto proses bikinnya karena riweuh. Maunya nanti nyusul aja pas bikin soto lagi. Tapi ternyata, malahan nggak sempet dan akhirnya lupa. Hadeuh. Padahal Soto Bandung ini adalah salah satu menu andalan saya di rumah khususnya saat hari raya.

Soto Bandung ini salah satu soto favorit saya, kenapa? Karena kuahnya bening tapi rasanya gurih banget, terlebih kalo disantap pake sambel rawit yang pedas, huih mantap! Ciri khas dari Soto Bandung memang selain kuahnya bening adalah adanya taburan kacang kedelai goreng dan irisan lobak. Akan tambah segar kalo diberi sedikit cuka atau air jeruk nipis. Hmm yummy! Kenapa juga saya suguhkan jadi sajian utama di hari raya? Karena biasanya, semua menu lebaran itu rata-rata berbumbu berat dan bersantan kental, kayak Opor Ayam, Sayur Godog, Semur, Rendang, Sambal Goreng, dll...nah, Soto Bandung ini jadi pilihan manakala blenek sama yang bersantan-santan. Suami saya cenderung memilih Soto Bandung dibanding Opor Ayam saat makan ketupat. Selain karena menghindari kolesterol, juga karena rasanya yang 'light' dan gurih, nggak bikin enek saat dipadu dengan Semur atau Sambal Goreng Kentang. Mau coba bikin Soto Bandung? Hayu, gampang kok bikinnya dan bumbunya juga simpel. Dijamin ketagihan deh!

Resep Soto Bandung

Bahan :
1 kg daging sapi, iris-iris lalu rebus setengah matang (beri garam secukupnya). Angkat lalu potong dadu, sisihkan bersama air rebusan kaldunya.
2 batang serai
3 cm lengkuas, geprek
3 cm jahe, geprek
3 lbr daun salam
1-2 sdm garam
1 sdm gula pasir
1 sdt kaldu bubuk (optional)

Bumbu halus :
4 bh bawang merah
4 bh bawang putih

Pelengkap :
1 batang bawang daun, iris tipis
2 batang seledri, iris tipis
1 bh lobak (buang kulitnya, iris tipis-tipis, rebus lobak hingga terlihat transparan)
Kacang kedelai goreng (rendam kacang kedelai dengan air hangat hingga mekar, goreng)
Bawang goreng
Sambel cabe rawit (rebus cabe rawit merah, ulek, beri sedikit air, garam dan cuka)
Irisan Jeruk nipis/cuka

Cara membuat :
  1. Siapkan panci, beri minyak goreng secukupnya, tumis bumbu halus hingga wangi
  2. Masukan daging beserta air rebusan kaldunya. Tambahkan air lagi sesuai selera. Masukan daun salam, serai, lengkuas, jahe, garam dan gula. Masak hingga daging empuk. Jika kuah menyusut, bisa tambahkan air lagi. Cek rasa.
  3. Siapkan mangkuk, sajikan soto bersama lobak, kacang kedelai, taburan bawang daun, seledri dan bawang goreng. Beri jeruk nipis/cuka dan sambel bila suka.

 

Sunday, October 18, 2015

Proyek No.34 : Rawon


Jadi ceritanya saya masih punya daging Qurban di freezer dan waktu di tukang sayur, saya liat Kluwek. Kluwek ini sering ditaruh dikresek sama Si Mas Dul (tukang sayur komplek) dicantelin di rak sayurannya. Nggak pernah sekalipun terlintas untuk beli itu Kluwek, secara saya belum pernah punya pengalaman masak pake bumbu yang satu itu. Tapi ketika saya liat Kluwek minggu lalu, tring! tiba-tiba kepikiran untuk coba bikin Rawon. Rawon kan bumbunya pake Kluwek. Boleh dicoba nih, mumpung masih punya daging.

Pertama kali nyoba yang namanya Rawon ini lewat temennya suami yang kebetulan orang Blitar, Jawa Timur. Suatu kali saya dan suami diajak makan di warung makan sederhana di seputaran kampus STPI. Mba Feti, temen suami saya itu, langsung memesankan Rawon buat saya. Dia bilang, Rawon di warung ini enak banget. Sayang, ternyata kami kesiangan dan Rawon-nya tinggal kuahnya saja. Dan Mba Feti ini, dengan bahasa Jawa-nya, bilang ke Ibu warung kalo kuahnya pun nggak apa-apa. Maka disodorilah kami mangkuk berisi kuah berwarna hitam yang ditaburi kecambah dan bawang goreng di atasnya. Heh? Jadi ini toh yang namanya Rawon? Kuahnya hitam begini? Karena dagingnya kehabisan, sebagai gantinya kami pesan ayam goreng saja. Dan saya masih saja takjub sama si kuah ini. Emangnya enak banget ya, sampe kuahnya pun diminta? "Makannya sambil pake ini nih, Mba Ria. Telor asin," kata Mba Feti sambil mengangsur sebutir telor asin ke saya. Saya nurut dan mulailah saya menyendok kuah Rawon untuk pertama kalinya. Begitu diseruput, eits, kok enak ya? Gurih dan kaldu dagingnya terasa banget. Dan itu Kluwek-nya, kok nggak terasa aneh ato gimana-gimana ya di lidah? Kekhawatiran saya akan rasa aneh Si Kluwek ternyata nggak terbukti, karena ternyata kuah Rawon yang hitam legam itu enak banget dan saya suka.

Jadilah saya mengumpulkan beberapa resep Rawon buat referensi, demi suksesnya proyek membuat makanan khas dari Jawa Timur ini. Kebetulan suami sudah hampir 3 minggu dines di Surabaya, jadi  saya pun ingin menyuguhkan sesuatu yang berbau-bau Jawa Timur atau Surabaya di rumah. Dari beberapa resep, saya pun akhirnya memilih untuk berimprovisasi, baik dari jumlah bumbu maupun cara memasaknya. Jadi maafkan ya kalo Rawon versi saya rada 'ngawur' bikinnya, hehe. Semata-mata karena pengen ringkas aja bikinnya dan bumbunya ada yang saya skip karena lagi nggak punya atau sengaja nggak dipake (kayak cabe), karena takut terasa pedas buat si bungsu. Tapi meskipun begitu, Rawon saya endingnya oke lho. Enak beneran enak! Nggak kalah enak sama Rawon di warung makan tempat dulu saya nyoba Rawon untuk pertama kalinya. Anak saya yang nomor dua, Zaki, awalnya nggak tertarik nyobain Rawon bikinan saya. Serem dia liat kuah dan dagingnya yang hitam (oh ya, karena saya bikinnya pagi hari dan disajikan saat makan malam, alhasil dagingnya jadi lebih hitam dan bumbunya lebih meresap). Begitu saya suruh coba (sambil setengah ngancam, hahah), dia pun mengecap-ngecap sambil bilang "Hmm, boleh juga. Mana sini nasinya. Kirain itemnya nggak enak tapi ternyata enak kayak soto gitu ya?" Alhamdulillah, sukses!


Resep Rawon

Bahan :
  • 1 kg daging, potong-potong, rebus hingga setengah empuk (beri sedikit garam), angkat lalu potong dadu, sisihkan bersama air rebusan kaldunya
  • 5 bh kluwek, ambil isinya. Jika isinya agak mengeras, beri sedikit air panas, haluskan.
  • 1 batang daun bawang, potong asal
  • 1 batang sereh, geprek
  • 2 daun salam
  • 4 daun jeruk
  • 3 cm lengkuas, geprek
  • 1-2 sdm garam
  • 1 sdm gula pasir
  • 1/2 sdt kaldu bubuk (optional)
Bumbu halus :

5 bh bawang merah
5 bh bawang putih
3 bh kemiri
3 cm jahe
3 cm kunyit
1 sdm ketumbar, sangrai

Bahan pelengkap :

Bawang goreng
Jeruk nipis
Kecambah, rendam air panas
Sambal cabe
Telur asin

Cara membuat :
  1. Dalam panci, beri minyak goreng secukupnya.Tumis bumbu halus hingga setengah matang lalu masukan kluwek. Aduk-aduk hingga tumisan harum dan matang.
  2. Masukan daging yang sudah dipotong dadu beserta air rebusan kaldunya. Tambahkan lagi air sekitar 1 liter. Aduk-aduk.
  3. Masukan lengkuas, sereh, daun salam, daun jeruk, garam dan gula. Aduk sebentar. Masak hingga daging empuk dan matang. Jika kuah menyusut, tambahkan air lagi sesuai selera. Cek rasa.
  4. Terakhir, masukan daun bawang. Aduk sebentar. Matikan api.
  5. Sajikan dalam mangkuk dengan kecambah, bawang goreng, jeruk nipis, sambal dan telur asin













Thursday, October 8, 2015

Sup Makaroni Tomat



Tiba-tiba kemarin pengen bikin Sup Makaroni yang berkuah merah, rasanya asam manis dan wangi rempah pala. Mumpung tomat lagi murah, boros dikit ga papalah, hehe. Cocoknya sih memang buat disantap pas musim hujan. Tapi berhubung lagi pengen, dibikin juga biar pun hujannya belum turun-turun (musim kemaraunya kali ini lumayan panjang banget). Pake nasi pula lagi makannya, haha. Namanya juga orang Indonesia, kalo nggak makan nasi rasanya nggak nendang :)

Bikinnya cepet, bumbunya ga banyak. Bahannya ayam dipotong kecil-kecil, sosis (kebetulan punya), makaroni, wortel dan kacang merah. Bumbunya tentu saja tomat, saus tomat botolan, lada hitam, pala, bawang putih dan bawang bombai. Untuk tomat, jangan pelit kalo mau bikin sup ini. Tomatnya pakai 5 buah, kalo dikurangin, dijamin nggak nendang deh, hehe. Iya soalnya kalo tomatnya sedikit, kurang terasa segarnya dan kuahnya nggak kental alias 'cawerang' bahasa Sunda-nya mah. Pakai tomatnya utuh, termasuk kulit dan bijinya, bisa diparut atau diblender biar cepet. Untuk kulit dan biji tomatnya, sengaja nggak saya sisihkan biar ga ada yang terbuang. Biar rasa tomatnya terangkat, tambahkan saus tomat botolan juga.  


Berhubung suka banget aroma pala, saya pakai 1 sendok teh lebih. Pokoknya harus wangi dan hangat. Hasilnya, wiih enak banget. Kuahnya kental, rasanya segar perpaduan dari rasa asam tomat dan manisnya gula yang pas, plus wangi pala yang menggugah selera. Mau coba bikin? Monggo..
Resep Sup Makaroni Tomat

Bahan :
  • 100 gr makaroni, rebus setengah matang
  • 200 gr dada ayam, potong kecil-kecil
  • 2 bh sosis sapi, iris-iris (bakso juga oke)
  • 2 bh wortel, iris-iris
  • 150 gr kacang merah, rebus hingga empuk
  • 1 bh bawang bombai, rajang
  • 3 bh bawang putih, cincang halus
  • 5 bh tomat, blender atau parut
  • 5 sdm saus tomat botolan
  • 1 sdm garam
  • 3 sdm gula pasir
  • 1 sdt pala bubuk
  • 1/2 sdt lada hitam bubuk

Cara membuat :
  1. Tumis bawang bombai dan bawang putih hingga wangi
  2. Masukan daging ayam, aduk hingga berubah warna. Tambahkan air kurang lebih 800 ml. Biarkan hingga mendidih
  3. Tambahkan tomat, saus tomat, garam, gula, lada hitam dan pala. Aduk lalu masukan kacang merah. Masak 5 menit
  4. Tambahkan wortel, masak hingga empuk
  5. Masukan sosis dan makroni. Aduk. Jika kuahnya ingin ditambah, beri air lagi, cek rasanya hingga pas.
  6. Sajikan hangat